SEJARAH KOTA DI JAWA ABAD KE-19

SEJARAH PEMBENTUKAN KOTA DI JAWA ABAD KE-19

 

Rencana dasar kota-kota di Indonesia, semula digarap pada masa penjajahan. Semula Belanda dan kekuatan Eropa lain puas hanya membangun pos perdagangan yang dibentengi, kemudian ketika Belanda datang untuk memperluas kekuasaannya ke seluruh Jawa dan Nusantara, mereka cenderung menyesuakan diri terhadap model permukiman kota setempat yang lambang politisnya, sehubungan dengan istana penguasa, sengaja mereka manfaatkan untuk mengesahkan kekuasaannya sendiri.

 

Permukiman Dagang Berbenteng

Belanda sebagai bangsa pelaut dan pedagang, membangun perusahaan multinasional pertama, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ‘Persekutuan Dagang Hindia Timur’ tahun 1602, dengan maksud menguasai perdagangan rempah yang sangat menguntungkan di Asia. Pos dagang didirikan di Maluku dan Banda. Perjanjian dagang eksklusif dirundingkan dengan penguasa setempat. Semula, permukiman Belanda terdiri atas gudang dan beberapa penginapan bagi pedagang utama (opperkoopsman) dan pegawainya, namun hubungan yang bergolak dengan penduduk asli dan saingan Eropa, memerlukan ketahanan dan tingkat kelengkapan bagi pemukiman ini.

Tahun 1619, Batavia (Sebelumnya bernama Jayakarta dan Sunda Kelapa) menjadi benteng VOC di timur dan hal itu menandai kedatangan Belanda di bidang ekonomi dan politik utama di Nusantara. Batavia berhasil bersaing dengan pelabuhan kota penyaluran barang Jawa lain, seperti Banten, Cirebon, Demak, dan dalam 100 tahun kemudian Belanda membangun pos-pos strategis di Semarang, Surabaya, dan di tempat-tempat lain.

 

Kota Jajahan Abad ke-19

Pada akhir abad ke-18, Persekutuan Dagang Hindia Timur kalah, akhirnya bangkrut, karena korupsi pejabat perusahaan. Setelah dilanda perubahan politik yang timbul dari perang Napoleon, administrasi VOC Hindia Belanda diganti oleh pemerintahan jajahan yang dipertanggung-jawabkan ke pemerintah Belanda tahun 1800. Sementara kepentingan VOC di wilayah itu murni perdagangan, pemerintahan jajahan baru mencari kekuasaan wilayah. Pemanfaatan lebih sistematis terhadap Nusantara dikenal meluas ke daerah pedalaman dan tepi pantai. Dimulai di Jawa, pemerintahan jajahan memperkenalkan sistem tempat tinggal di bawah kekuasaan residen Belanda, terbagi menjadi kabupeten yang dikuasai bupati atau bangsawan Jawa Setempat. Dengan sistem kekuasaan tidak langsung ini, Belanda menjalankan kekuasaan secara menyeluruh atas wilayahnya di lapangan dan sistem produksi pertanian.

Selama masa penjajahan ini, ada percampuran antara unsur Indonesia dan Belanda, sebagian besar karena kenyataan bahwa Belanda sangat kurang perhatian untuk memaksakan kebudayaan dan agamanya kepada penduduk pribumi daripada, misalnya Portugis di daerah jajahan timur mereka. Toleransi Belanda terhadap kebiasaan dan kepercayaan setempat tercermin dalam perencanaan kota di Jawa abad ke-19, yang menunjukkan pengaruh setempat dan Barat. Daripada membangun pusat pemerintahan berdasarkan prinsip Barat, Belanda puas mengikuti pola yang ada dalam pemanfaatan secara sadar model ruang kekuasaan dan wewenang tradisional. Tata letak ibu kota kabupaten, misalnya, didominasi oleh alun-alun atau lapangan pusat. Dikelilingi oleh bangunan pemerintahan bupati, residen Belanda, dan Masjid, kota merupakan pusat pemerintahan dan keagamaan. Kabupaten terletak di salah satu sisi utara atau selatan alun-alun. Lodji atau kantor residen (Lodji berasal dari Loge, kata Belanda untuk Kediaman), biasanya terletak di sisi timur alun-alun, berhadapan dengan Masjid. Bangunan lain pada umumnya mengelilingi alun-alun, termasuk penjara kota. Susunan resmi ruang dan bangunan kota diperkuat oleh penempatan setangkup pohon beringin yang mengesankan dan rumah penjaga yang kecil dalam hubungan ke poros utara-selatan kabupaten dan alun-alun.

Ibukota pemerintahan abad ke-19 yang memperoleh bentuknya di bawah pemerintahan jajahan Belanda merupakan ungkapan kota yang berasal dari keseimbangan kekuasaan antara penguasa asing dan pribumi mengenai toleransi budaya pada sudut pandang orang Belanda. Perpaduan khas antara unsur Belanda dan Indonesia merupakan ciri khas kota abad ke-19, terutama di Jawa, membuat kota “Hindia” menjadi gejala luar biasa dalam sejarah kota jajahan.

 

Perkembangan Kemudian

Kota Hindia berlanjut tumbuh setelah penghapusan Cultuurstelsel atau sistem Tanam Paksa yang berlangsung antara 1830 sampai 1870. Sistem produksi pertanian yang dipaksa di bawah pengawasan pemerintahan jajahan ini diperkenalkan untuk mengisi harta yang kosong dan menghasilkan pemanfaatan hebat atas penduduk Jawa. Sistem Tanam Paksa akhirnya dirasa tidak dapat dipertahankan dan diganti oleh parlemen Belanda tahun 1870 dengan seperangkat kebijakan yang membuka daerah jajahan pada perusahaan swasta.

Hasil-hasil bumi baru untuk ekspor dunia, seperti tembakau dan kopi, mendorong muncul dan berkembangnya kota-kota perkebunan, seperti Banyumas, Bondowoso, Jember, Lumajang, dan Pasuruan yang tumbuh menjadi pusat hasil pertanian. Perkebunan-perkebunan sering terletak bermil-mil jauhnya dari kota terdekat, sehingga perkumpulan orang Belanda setempat (soos) menjadi ciri kehidupan jajahan di wilayah terpencil ini.

Pada akhir abad ke-19, sistem administrasi dan produksi pertanian besar telah berkembang, didukung oleh pos-pos bukit yang berdiri di wilayah pegunungan yang lebih sejuk, memberi layanan sebagai pusat wisata bagi penduduk Eropa yang tempat kerjanya berada di dataran rendah daerah tropis yang panas.

Sumber:

INDONESIAN HERITAGE. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc. 2002

Share Tweet Pin it

Add Comment

Bagaimana pendapat Anda? Saya tunggu komentar anda di sini...


Bagaimana pendapat Anda ?

Comments